Tanggal 12 Rabiul Awal 1432 H, bertepatan pada 15 Februari 2011
seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain
merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun.
Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan
Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Nabi
Muhammad SAW.
Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang,
Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tujuannya adalah
untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan
membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis.
Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat jihad umat Islam
menggelora pada saat itu. Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah
sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah
kehidupan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimipn besar yang sangat
luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu
upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat
baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat
madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti
toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta
lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan
humanisme. Dalam tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Nabi Muhammad
SAW dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda
dan saling melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Nabi Muhammad SAW
dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam
tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai
sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas
membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci”
Tuhan kepada umat manusia secara universal.
Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Beliau dilihat dan dipahami
sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Nabi Muhammad SAW yang
identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis,
serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa
tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat
sosial yang sejahtera dan tentram.
Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan memperingati
Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya
memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi
dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual
sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya sebagai
kelahiran sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita sedang membutuhkan sosok
pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan
dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan
nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW untuk seluruh
umat manusia. Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami
dari perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai
perspektif yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya,
ekonomi, maupun agama.
0 komentar:
Posting Komentar